loading...

Video Pria Puji Ahok Berhasil Atasi Banjir Jakarta Dengan Tanggul

NAWACITA JOKOWI

Jokowi Lantik Kepala BSSN Djoko Setiadi

JOKOWI Kecam Pernyataan TRUMP Atas YERUSALEM

Jokowi Beri 1.230 Sertifikat Tanah di Papua Barat

Dunia Akui Kinerja Ahok

Fakta...!!! Praktek Uang Haram Trotoar Tanah Abang Dibongkar Tim Najwa Shihab

PRESIDEN JOKOWI Jadi Imam Shalat PRESIDEN AFGHANISTAN

Pesan JOKOWI Untuk Relawan PROJO Hadapi Tahun Politik

loading...

Batu sandungan Jokowi di Pilpres 2019

loading...
Sejumlah lembaga survei masih menempatkan nama Joko Widodo sebagai calon terkuat jika kembali maju sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2019. Rata-rata, tingkat elektabilitas Joko Widodo jelang Pemilihan Presiden 2019 cenderung naik di angka 40-45 persen. Namun, kenaikannya dinilai lamban. Sementara di belakang Joko Widodo membuntuti rival terkuatnya yakni mantan Danjen Kopassus yang kini menjadi Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto .

Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi dinilai belum berada di zona aman. Alasannya, separuh jumlah pemilih di Indonesia masih bisa berubah pilihannya. Ada beberapa isu yang dinilai berpotensi menjegal Jokowi di pertarungan 2019. 

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti melihat isu itu sudah mulai dimainkan dan terbukti memengaruhi lambannya kenaikan elektabilitas Jokowi. Lambatnya kenaikan elektabilitas Jokowi diyakini terimbas politik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Jokowi kerap diserang isu komunisme hingga terlalu mengistimewakan atau memiliki orientasi pada perekonomian China.

"Kenapa lambatnya elektabilitas Jokowi? Dugaan saya karena masih terkena imbas dari politik SARA," kata Ray di D Hotel, Jalan Sultan Agung, Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).

Permainan isu SARA diyakini tidak akan terhenti dan akan dihembuskan di Pilkada serentak 2018, Pemilu hingga Pilpres 2019. Isu SARA digunakan untuk kepentingan politik karena memiliki dampak signifikan menghancurkan elektabilitas lawan politik. Selain itu, efeknya berkepanjangan. Selain efek signifikan, isu SARA banyak dipakai karena muncul suasana yang melegalkan tindakan politik SARA.

"Jadi SARA tidak bermasalah karena dianggap mengamalkan kepercayaan tertentu, ada kegamangan," ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto melihat, konflik di masyarakat bakal terjadi hingga Pilpres 2019. Isu-isu yang digunakan beragam. Mulai dari ketidakpuasan elit politik dalam pembagian kekuasaan. Ketidakpuasan itu tergambar di 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK di mana sikap politik dua kaki PAN antara mendukung pemerintahan dan oposisi.

Yang juga perlu disikapi adalah permainan isu jika masyarakat tidak puas dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Pemicunya, ekonomi tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.

"Ekonomi cenderung stabil 3 tahun, tapi ada kesenjangan besar. Pertumbuhan tidak diikuti dengan distribusi merata. Lebih parah kalau tidak ada kepuasan pembangunan," Arif di D Hotel, Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).

Isu ketiga yang berpotensi jadi batu sandungan Jokowi adalah penilaian jika pemerintah gagal dalam penegakan hukum, HAM dan anti korupsi . Arif menyinggung buruknya kualitas penegakan hukum di Indonesia. Penyebabnya karena Presiden Joko Widodo memercayakan institusi penegak hukum dipimpin dari unsur partai politik. Contohnya, Yasonna Laoly menjadi Menteri Hukum dan HAM serta M Prasetyo di posisi Jaksa Agung. Laoly merupakan kader PDIP dan Prasetyo berasal dari Partai NasDem.

Arif juga menyoroti soal banyaknya aparatur sipil negara tersangkut kasus korupsi oleh KPK serta janji Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu seperti pembunuhan aktivis Munir.

"Kesalahan Jokowi adalah mengangkat Menkum HAM dan Jaksa Agung seorang politikus. Selama itu tidak akan pernah prestasi hukumnya Jokowi bagus. Kalau mau bagi, ganti Jaksa Agung dan Menkum HAM," tegas Arif.

Terakhir, lanjut Arif, peluang konflik besar jika tidak ada institusi sosial di luar politik yang mampu memoderasi politik.

"Agama enggak lupa diseret ke politik. Jadi tidak ada institusi di luar politik yang bisa diharapkan untuk jadi jalan keluar di jalan politik," ucapnya. Merdeka.com
loading...

Comments