loading...
Gerakan yang lahir dari arena pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2016 lalu, gerakan 212 bisa menjadi alat politik di masa depan. Serangkaian gerakan mereka bisa dimanfaatkan politik praktis.
Hal itu dinyatakan Koordinator Setara Institute, Hendardi mengomentari kegiatan reuni 212 yang dilakukan para mantan pendemo anti Basuki Tjahaja Purnama, Sabtu (2/12/2017) besok.
“Perayaan 1 tahun aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 lalu adalah gerakan politik. Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini akan menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan,” kata Hendardi dalam pernyataannya, Jumat siang.
“Bagi mereka public space is politic. Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi,” katanya.
Hanya saja gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. Populisme agama, menurut dia, menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.
Selain itu perlahan gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah menyadari bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk.
“Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak relevan menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita,” tutup dia.
suara.com
suara.com
loading...
Comments
Post a Comment