loading...
Presidium Alumni 212 baru saja menghelat reuni akbar di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (212).
Dalam acara tersebut, sejumlah tokoh turut hadir dan berpidato. Mereka di antaranya Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah, pendiri Partai Amanat Nasional Amien Rais, dai Felix Siauw, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis. Kemudian hadir pula Ketua Presidium Alumni 212 selaku penyelenggara, Slamet Maarif.
Isi pidato mereka cenderung tidak berbeda jauh yaitu mengajak peserta reuni untuk merenungi kembali yang mereka lakukan pada hari ini dan di tempat yang sama pada tahun lalu.
"Alumni 212, merasakan tiga tahun pemerintah sekarang tidak terlalu ramah dengan umat Islam, bahkan, kami rasakan semakin lama semakin menggigit,” ucap Slamet saat berpidato.
Buktinya, lanjut Slamet, tokoh FPI Rizieq Shihab dikriminalisasi. Slamet menilai kelompok yang selama ini mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah kerap dikriminalisasi.
Sementara, ketika kelompok pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengutarakan ujaran kebencian di media sosial malah dilindungi pemerintah.
"Kasus Viktor Laiskodat menunjukkan islam phobia. Yang mengancam pembunuhan dimana mana tetap hidup aman karena dilindungi kekuasaan," ucap Slamet.
"Kami sampaikan bahwa kami merasakan nilai-nilai keadilan begitu jauhnya dengan umat Islam," lanjut Slamet.
"Umat Islam yang mana yang digigit?" ucap Adi, Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Minggu (2/12).
Mengenai Rizieq Shihab yang disebut Slamet sebagai bukti kriminalisasi pemerintah terhadp umat Islam, Adi sangat tidak sepakat. Adi menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia bukan hanya Rizieq dan kelompoknya saja.
Rizieq tidak bisa disebut sebagai simbol umat Islam karena ada ratusan juta warga negara Indosia yang juga beragama Islam. Oleh karena itu, setiap tingkah laku Rizieq tidak bisa disebut sebagai cerminan penganut Islam di Indonesia. Kemudian, apabila Rizieq merasa dikriminalisasi, bukan berarti seluruh umat Islam di Indonesia merasa terkriminalisasi.
Adi menilai anggapan Slamet bahwa pemerintahan Jokowi Islam Phobia itu terlalu berlebihan. Jika memang Islam Phobia, seharusnya pemerintah tidak memilih-milih dalam menentukan sikap terhadap kelompok Islamis.
"Berlebihan, karena cuma Rizieq kena kasus diburu penegak hukum lalu bilang pemerintah Islam Phobia. Sementara NU dan Muhammadiyah enggak dibubarkan atau diburu. Pun organisasi mahasiswa Islam seperti HMI, PMII, IMM enggak dibubarkan," ucap Adi.
Adi lalu mengulas kembali tentang bagaimana rezim Orde Baru bersikap terhadap kelompok-kelompok Islam.
Kala itu, Orde Baru bisa disebut Islam Phobia karena sangat membatasi ruang gerak kelompok Islam dalam panggung politik.
Misalnya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, dan sejumlah partai Islam lainnya difusikan menjadi satu partai saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tujuannya agar memudahkan pemerintah dalam mengontrol kelompok Islam.
"Di luar itu Orba juga memberlakukan asas tunggal Pancasila untuk semua ormas. Akibatnya, ormas islam banyak yang dibubarkan," kata Adi.
Sikap Orde Baru tersebut, lanjut Adi, jelas sangat berbeda dengan sikap Pemerintahan Jokowi. Adi mengatakan bahwa banyak kelompok dan partai Islam yang berdiri selama Jokowi menjabat sebagai presiden.
Ormas-ormas yang berasaskan Islam pun tidak dibubarkan asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, Jokowi juga tidak pernah mengurung ruang gerak ormas Islam seperti yang dilakukan Soeharto di masa lalu.
"Jadi istilah islam phobia untuk saat ini ya berlebihan," ucap Adi. CnnIndonesia.com
loading...
Comments
Post a Comment