loading...

Video Pria Puji Ahok Berhasil Atasi Banjir Jakarta Dengan Tanggul

NAWACITA JOKOWI

Jokowi Lantik Kepala BSSN Djoko Setiadi

JOKOWI Kecam Pernyataan TRUMP Atas YERUSALEM

Jokowi Beri 1.230 Sertifikat Tanah di Papua Barat

Dunia Akui Kinerja Ahok

Fakta...!!! Praktek Uang Haram Trotoar Tanah Abang Dibongkar Tim Najwa Shihab

PRESIDEN JOKOWI Jadi Imam Shalat PRESIDEN AFGHANISTAN

Pesan JOKOWI Untuk Relawan PROJO Hadapi Tahun Politik

loading...

Politik Becak Anies-Sandi

loading...
Penarik becak tidak akan memiliki sejarah, sejauh mereka tidak menarik perhatian negara.
Begitu, cara antropolog Eric Wolf mengomentari rumitnya menelusuri sejarah becak di Indonesia. Penulis People Without History (1982) itu bilang, pencatatan detail mengenai moda transportasi tradisional ini selalu berbanding dengan naik turunnya perhatian dan kontrol pemerintah terhadap mereka.

Bayangkan saja, pro-kontra rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan tentang pengoperasian becak juga tidak disertai dengan kelengkapan angka-angka. Anies boleh mengklaim bahwa di tangannya ada data 1.000 pengayuh becak di Jakarta, tapi jumlah persis dan sumber resminya sudah tak terdengar begitu lama.

Imbasnya, ada anggapan bahwa rencana memperbolehkan beroperasinya becak di ibu kota bukan dalam rangka penertiban barang yang sudah ada, dan amat wajar juga, bagi yang kontra, kebijakan Anies ini dibilang sebuah langkah mundur mengenai kebijakan transportasi DKI Jakarta.

Tak manusiawi

Tafsir kedua dari kutipan Wolf, bisa dibaca bahwa pro-kontra kebijakan becak tak lepas dari remah-remah politik. Bukan cuma sebagai bentuk timbal balik dari kontrak politik yang telah ditandatangani, namun juga terkait politik ekonomi dan transportasi yang notabene menjelma masalah utama di ibu kota.

Apabila ditelusuri, boleh dibilang, umur becak jauh lebih tua dibanding keberadaan Republik Indonesia. Ia sudah ada sejak masa kolonial. Ada sumber yang mencatat, semenjak 1930-an.

Becak di Jakarta, sesekali diterima, tak jarang dilarang. Jumlahnya pernah melulu naik, dari cuma 100 unit pada masa kolonial Belanda, menjadi 3.900 buah pada 1943.

Mimbar Indonesia edisi 1 Mei 1948 mencatat, di tahun itu jumlah becak merangkak hingga 60.000 unit. Dan dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013) disebut, jumlah kendaraan roda tiga di ibu kota ini menjadi 100.000 sampai 150.000 buah.

"Ketika kondisi ekonomi negara sangat memprihatinkan, jumlah becak meningkat 4 sampai 5 kali lipat dibanding awal 1950-an," tulis Erwiza Erman.

Kontroversi beroperasinya becak di Jakarta makin serius ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) DKI  Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Perda itu disahkan pada 1967 dengan sebuah penegasan bahwa DKI Jakrta tak mengakui becak sebagai kendaraan umum.

Dalam kajian yang menjadi dasar aturan itu dikatakan, becak tak lebih dari biang kemacetan. Becak, juga dinilai sudah tak layak lagi tampil di zaman dan kota yang modern. Apa sebab? Becak dianggap sebagai wujud dari eksploitasi manusia di atas kepentingan ekonomi.

Tak hanya melarang, pada 1970, DKI Jakarta mengharamkan produksi dan distribusi becak dari luar kota. Hal itu, terus berlanjut hingga sekarang, paling tidak sampai mantan Gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama menganggap keberadaan becak melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Erwiza Erman, masih dalam buku yang sama menulis wawancara pengayuh becak bernama Subakti tentang beratnya pada pengayuh becak di Jakarta. Tak ada yang muncul, selain menggenjot becak adalah pekerjaan yang tak menggembirakan.


"Minum dan judi itulah satu-satunya kebahagiaan yang dapat saya rasakan dalam hidup. Jika saya minum, saya lupa miskin. Kalau saya judi, saya mimpi jadi orang kaya. 
Kalau tidak melakukannya; main judi atau minum sejak muda dulu, ada yang kurang dalam hidup. Hal itu membuat saya susah tidur. Tetapi kalau saya melakukannya, setiap hari ada harapan, ada mimpi jadi orang kaya. Karena yang saya hadapi dalam menarik becak adalah derita saja."

Asas ini, adalah poin yang dijadikan patokan bagi pemerintah DKI Jakarta di beberapa periode sebelumnya. Menurut mereka, jauh lebih perlu mengantarkan para pengayuh becak untuk menemukan pekerjaan yang lebih layak, ketimbang melestarikan cara meraih rezeki ala-masyarakat kolonial.

Ikon budaya atau dampak politik

Anies dan wakilnya, Sandiaga Salahuddin Uno terkesan melulu beda. Meski sepakat dalam satu program, namun cara menafsirnya cenderung tampak berbeda.

Rekam jejak itu bisa dibaca ketika beberapa masa setelah dilantik, keduanya tak seragam dalam menyikapi dampak penutupan hotel dan griya pijat Alexis. Anies mengatakan, soal 600 mantan pekerja tetap dan 400 pekerja lepas di dalamnya mau ke mana, bukan urusan.

Sementara Sandi, beda lagi. Ia lebih dulu mengatakan bahwa program andalan pemerintah provinsi (Pemprov) soal kewirausahaan bernama OK Oce siap menjadi jalan keluar. Para mantan pekerja itu siap dipandu dan diarahkan menjalankan usaha yang dinilai lebih mencerahkan.

Perbedaan tafsir itu, terus berlanjut. Sampai pada memaknai kebijakan pembolehan operasi becak belakangan. Anies menyatakan hanya akan diberlakukan di jalan-jalan kampung, sedangkan Sandi, lebih membahasnya sebagai proyek pariwisata melalui pelestarian becak sebagai ikon kebudayaan.

Selebihnya, keduanya sepakat bahwa rencana mengenai kehalalan becak ini tak lebih sebagai kelanjutan dari kontrak politik yang telah disepakati dengan para calon pemilih.

"Kontrak politik ini disodorkan untuk Pak Anies. Kita punya beberapa kontrak politik yang sudah ditabulasi dan akan kita tunaikan semuanya," kata Sandi di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, 17 Januari 2018.

Kebijakan becak, hari ini, tiada lain lahir dari proses politik praktis. Dan yang namanya praktis, tak ada urusan dengan perkara-perkara yang perlu kajian mendalam, semisal kebutuhan modernisasi teknologi transportasi bagi ibu kota, atau mengantarkan warganya kepada pekerjaan yang lebih manusiawi. Metrotvnews.com

loading...

Comments