loading...

Video Pria Puji Ahok Berhasil Atasi Banjir Jakarta Dengan Tanggul

NAWACITA JOKOWI

Jokowi Lantik Kepala BSSN Djoko Setiadi

JOKOWI Kecam Pernyataan TRUMP Atas YERUSALEM

Jokowi Beri 1.230 Sertifikat Tanah di Papua Barat

Dunia Akui Kinerja Ahok

Fakta...!!! Praktek Uang Haram Trotoar Tanah Abang Dibongkar Tim Najwa Shihab

PRESIDEN JOKOWI Jadi Imam Shalat PRESIDEN AFGHANISTAN

Pesan JOKOWI Untuk Relawan PROJO Hadapi Tahun Politik

loading...

Kontestasi Pilkada dan Tasawuf Politik

loading...
Tahun 2018 adalah tahun kontestasi pilkada sebagai ajang pemanasan menuju Pemilu 2019. Pengundian nomor urut pilkada pun sudah dilakukan untuk memulai perjalanan demokrasi yang (semoga) sehat. Di beberapa kesempatan Presiden Jokowi tak henti mengingatkan agar wajah politik nasional tidak rakus. Sebuah penekanan bahwa ada potensi politik SARA di tahun 2018. Peringatan ini wajar ditekankan berulang kali oleh kepala negara-kepala pemerintahan yang memiliki perangkat intelijen. Politik SARA dikhawatirkan menjadi siklus setiap pesta demokrasi setelah tersaji di ibu kota tahun lalu.

Perlu sebuah pendekatan untuk memutus rantai politik SARA. Tasawuf politik adalah pendekatan yang terbilang aneh dan terkesan memaksa. Lantas apa hubungannya politik SARA dengan tasawuf politik? Ada sedikit kesamaan antara politik dan tasawuf karena keduanya melekat dengan subjeknya. Politik akan melekat dengan kehidupan politikus ke mana pun dan di mana pun. Begitu juga dengan tasawuf. Penganut tasawuf atau sufi akan memandang masalah dengan kejernihan ilmunya di mana pun dan kapan pun.
Dalam tasawuf dikenal ajaran pemurnian cinta. Cinta menjadi napas seorang sufi sehingga kehidupannya berorientasi kepada cinta atas sang pencipta. Di dunia politik, cinta hanya fatamorgana. Politikus akan mendadak cinta menjelang pemilihan dan akan mengejar cinta jika ada kekuasaan. Cinta dalam politik tidak lagi bermakna ketulusan, melainkan nafsu yang serakah.

Konsep Tasawuf Politik 

Tasawuf bisa menjinakkan politik. Tasawuf juga sebagai tarekah atau jalan menuju masyarakat beradab. Sosok Maulana Rumi (1207-1273 M), sufi kenamaan asal Qonya, Turki melalui bukunya Fihi ma Fihi (Inilah yang Sebenarnya) mengulas bagaimana ajaran tasawuf tidak pernah memperalat agama demi kepentingan apapun termasuk politik. Rumi mengajarkan bahwa kekuasaan ditempatkan menjadi nomor sekian karena yang utama adalah menunaikan perintah Tuhan dengan cinta.

Baginya, "bersahabat dengan Tuhan" akan membawa manusia berhati-hati termasuk dalam berkontestasi. Dengan demikian konsep tasawuf politik akan menyadarkan politikus agar menggunakan cara terhormat dan saling memuji lawannya karena keunggulan dan kelebihannya. Konsep ini juga bisa mendewasakan elite politik karena tidak akan ada rebutan kekuasaan. Penganut konsep tasawuf politik akan mempersilakan pesaingnya yang lebih kompeten maju menjadi pemimpin demi kepentingan bersama.

Jauh sebelum era Rumi, aplikasi tasawuf dalam politik diterapkan oleh Umar Bin Abdul Azis. Khalifah atau pemimpin terbaik dalam Dinasti Umayah (717-720 M) ini awalnya menolak ditunjuk sebagai khalifah dalam proses musyawarah. Ia merasa tidak layak memikul jabatan dengan kekuasaan yang membentang dari Jazirah Arab, Asia Tengah, Afrika Utara, hingga Eropa Selatan. 

Saat dinobatkan sebagai kepala pemerintahan, ia tak lantas menerima, bahkan merasa keberatan karena banyak kandidat lain yang lebih unggul. Sebuah perilaku dewasa dan bijak dalam berkontestasi. Umar akhirnya terpilih sebagai khalifah, dan satu-satunya khalifah Umayah yang berasal dari luar garis keturunannya.

Di Indonesia, sosok Pahlawan Nasioan Agus Salim adalah teladan yang mencerminkan nilai tasawuf. Leiden is lijden, sebuah pepatah Belanda, dikutip Mohammad Roem dalam tulisannya Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita pada 1977. Roem menggambarkan Agus Salim sebagai tokoh yang menolak gurita kekuasaan karena memimpin berarti menderita (baca: penuh perjuangan).

Menghubungkan tasawuf dengan politik bisa membantu meluruskan tujuan politik itu sendiri, yakni mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Jika politikus memahami ajaran tasawuf, orientasi mereka akan bermuara kepada cinta melebihi dari kerakusan dan kefanaan dunia.

Tengok saja rentetan kegaduhan politik yang kehilangan arah. DPR melalui revisi UU MD3 menjadi lembaga paling berkuasa, virus politik uang dari sejumlah peserta pilkada, hingga korupsi pimpinan parpol. Semua rangkaian tersebut memicu saling curiga. Degradasi moral menunjukkan ketiadaan cinta. Elite politik enggan naik kelas menjadi negarawan yang sarat dengan cinta nasionalisme.

Agama Mengalahkan Tuhan

Berkaca pada Pilkada DKI tahun lalu, efek dari politik SARA sangat menyakitkan. Politik SARAmemang efektif menggerakkan massa dan efektif sebagai barang komoditas. Bagaimana seorang warga muslim yang meninggal dunia tak boleh disalatkan, atau harus disalatkan di tempat yang jauh dari permukimannya. Kasus ini adalah contoh nyata dampak jangka panjang dari politik SARA. Kontestasinya memang selesai, namun efek trauma masih terasa bagi keluarga almarhum. Politik SARA juga merusak logika beragama. Ajaran Tuhan tentang kasih sayang akhirnya kalah dengan fanatisme sempit terhadap agama itu sendiri.


"Saat agama mengalahkan Tuhan" adalah gambaran betapa hebatnya provokasi dari politik SARA. Logika manusia sebagai hamba tidak lagi berjalan. Mereka termakan politik yang mengagungkan agama/kesukuan dibanding Tuhannya. Ada yang menghakimi keyakinan sesama pemeluk agama, ada juga yang menjatuhkan lawan dengan keyakinannya. Potret semacam ini bukan ajaran Tuhan, dan bukan pula ajaran agama apapun. Hanya saja kerakusan elite politik yang membenturkan agama dengan Tuhan demi kepentingan sesaat.
Tasawuf mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan adalah universal (bermanfaat bagi semua), dan bukan sekadar menjalin hubungan vertikal dengan Tuhannya. Kekuasaan ditempatkan sebagai gagasan tertinggi jika tujuannya untuk kebaikan dan memberi manfaat. Jika politikus sadar dan menempatkan politik sebagai jalan menuju cinta kepada Tuhannya, alangkah indahnya demokrasi di Indonesia.  detik.com
loading...

Comments