loading...
Maraknya radikalisme dan terorisme di Indonesia belakangan ini mendorong Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti beberapa indikasi yang terlihat di sekolah. Di antaranya:
- Pendidikan di sekolah tidak dirancang untuk menghargai perbedaan.
- Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior.
- Sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.
- Masuknya radikalisme melalui pintu kegiatan kesiswaan atau ekstrakurikuler.
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, FSGI memberikan beberapa rekomendasi sebagai bagian dari ikhtiar mencegah wabah radikalisme khususnya di dunia pendidikan.
1. Sebagai profesi yang mulia, guru mesti mengingat kembali kompetensi guru. Guru punya misi luhur yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Misi filosofis dan konstitusional tersebut mestinya diterjemahkan dengan praktik pembelajaran yang progresif, mempromosikan toleransi, kebhinnekaan dan cinta terhadap perbedaan, serta cinta tanah air.
2. Pembelajaran di kelas harus semenarik mungkin. Guru jangan berhenti belajar mengenai metode pembelajaran yang kreatif dan kritis. Sudah waktunya para guru menghadirkan pembelajaran kritis (pedagogi kritis).
Suasana pembelajaran seperti inilah yang mengedepankan argumen ketimbang sentimen, mengutamakan fakta ketimbang hoax, tidak langsung menerima satu pendapat dan tentu terbiasa dengan adu argumentasi yang berbasis literasi. “Jadi pedagogi kritis dan literasi yang baik di sekolah adalah kunci utama agar siswa dan guru tak terjebak pada virus intoleran dan radikalisme," kata Stariwan Salim, Wasekjen FSGI.
3. Guru jangan lagi membawa pandangan politik pribadi (kelompoknya) ke depan siswa di kelas. Guru harus mampu memisahkan kepentingan pedagogis dengan preferensi politis dan ideologisnya, apalagi ketika berhadapan dengan siswa di jenjang SMA/MA/SMK yang umumnya sudah punya hak pilih dalam Pilkada/Pemilu. Ini sangat berbahaya, guru bukannya mengajar, tapi berkampanye di ruang kelas.
“Tak kalah penting adalah, kepala sekolah harus punya pemetaan politik dan ideologis masing-masing guru. Juga melakukan kroscek ke siswa bagaimana guru mengajar. Ini sebenarnya sudah tugas pokok kepala sekolah, melakukan pemantauan, penilaian dan evaluasi terhadap proses pembelajaran dan aktivitas pedagogis guru,” demikian kata Heru Purnomo, Sekjen FSGI, yang juga guru Pendidikan Kewarganegaraan di SMPN 106 Jakarta.
4. Orangtua juga harus berperan aktif dalam mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan gawai dan selama berinteraksi dengan internet. Keingintahuan yang besar seorang anak (siswa) terhadap ideologi apa pun harus didampingi secara intelektual, emosional dan spiritual oleh orang tua dan guru. Jangan permisif terhadap perilaku anak (siswa).
5. FSGI mendorong Kemdikbud khususnya Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan), untuk membuat semacam “model pembelajaran” yang bermuatan pencegahan terhadap intoleransi, radikalisme dan terorisme di setiap jenjang pendidikan. Jika ini sudah terbentuk, tentu harus disampaikan secara menyeluruh bagi para guru. Pelatihan-pelatihan yang menunjang terkait pencegahan radikalisme dan terorisme ini sudah mendesak dilakukan secara berjenjang, berkelanjutan dan berkualitas. viva.co.id
loading...
Comments
Post a Comment