loading...
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia harus menyesuaikan diri dengan level normal terbaru dalam perekonomian global. Dalam hal ini, era suku bunga rendah mulai berakhir dan beralih ke bunga 'gemuk'.
"Level normal yang baru ini adalah pada saat bank sentral AS Federal Reserve menaikkan suku bunganya dan obligasi pemerintah AS (US Treasury) ikut terangkat. Itu tidak sama dengan dua, tiga tahun yang lalu di mana suku bunga mendekati nol persen," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu malam (9/5).
Sebagai gambaran, hingga akhir 2015, suku bunga acuan AS hanya berkisar 0 - 0,25 persen. Namun, sejak 21 Maret 2018 lalu, suku bunga acuan AS telah berada di kisaran 1,5 hingga 1,75 persen.
Kenaikan suku bunga AS diantisipasi oleh pasar keuangan global yang diliputi oleh ketidakpastian. Jika suku bunga AS naik, aliran modal akan mengalir ke Negeri Paman Sam. Untuk mengimbanginya, sejumlah negara di dunia juga bakal ikut mengerek suku bunga acuannya.
Pengaruh kenaikan suku bunga AS cukup terasa akhir-akhir ini di mana kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lainnya tertekan melawan dolar.
Gejolak pasar keuangan dunia juga berimbas pada lesunya minat investor terhadap penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
Pada Selasa (8/5) kemarin, total penawaran yang masuk dari lelang obligasi negara hanya sekitar Rp7,19 triliun, atau jauh di bawah lelang sebelumnya sebesar Rp17,02 triliun. Penawaran itu juga di bawah target indikatif pemerintah atas lelang tersebut yang mencapai Rp17 triliun hingga Rp 25,5 triliun.
Berdasarkan keterangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, pemerintah memutuskan untuk tidak menerima semua penawaran yang disampaikan oleh peserta lelang pada pelaksanaan lelang tersebut. Pasalnya, kondisi realisasi penerbitan SBN neto telah mencapai 45 persen, posisi kas Pemerintah dalam kondisi yang aman dan tingkat imbal hasil yang disampaikan oleh investor relatif di luar kewajaran yang dapat diterima.
Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah akan terus memonitor selera dari investor yang berinvestasi jangka panjang, maupun yang ingin mengambil untuk dengan berinvestasi jangka pendek.
"Pemerintah akan terus memahami appetite yang disampaikan oleh para investor calon pembeli obligasi kita," ujarnya.
Namun, Sri Mulyani menekankan bahwa pemerintah selalu memiliki opsi pembiayaan. Misalnya dari pinjaman multilateral, bilateral, maupun private placement apabila pasar dalam situasi tidak rasional atau pasar meminta imbal hasil yang terlalu tinggi dan tidak bisa dijustifikasi dari kondisi fundamental.
Saat ini, Sri Mulyani meyakinkan bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia masih baik dengan pertumbuhan ekonomi yang masih di atas lima persen, defisit APBN mendekati dua persen, dan tingkat inflasi yang terjaga.
"Indonesia dalam kondisi perekonomian yang stabil dan dengan prospek yang baik," tegasnya.
Indonesia Bisa Tanggung Biaya Besar
Secara terpisah, ekonom dan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Tony Prasetiantono mengungkapkan era suku bunga rendah sudah berakhir. Indonesia seharusnya segera merespon karena jika terlambat Indonesia akan menanggung biaya besar, salah satunya dari tergerusnya cadangan devisa.Menurut Tony, dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) perlu merespon dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, BI 7 Days Reserve Repo Rate (BI7DRR) setidaknya 25 basis poin sebagai respon jangka pendek. Jika tak dilakukan, risikonya cadangan devisa Indonesia akan tergerus sebagai imbas dari intervensi BI untuk menahan tekanan pada nilai tukar rupiah.
"Meskipun, tidak ada jaminan dengan menaikan suku bunga acuan 25 basis poin rupiah akan menguat," ujarnya.
Saat ini, lanjut Tony, nilai tukar rupiah telah menembus Rp14 ribu per dolar AS, suatu level psikologis yang tidak membuat nyaman pelaku pasar karena mengingatkan dengan kondisi krisis keuangan 1998. Namun, Tony mengingatkan, kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang lebih baik dibandingkan periode krisis dua dekade silam sehingga masyarakat tidak perlu panik berlebihan.
Selain itu, Tony juga meyakini kurs rupiah terhadap dolar masih undervalue. Artinya, tanpa ada gejolak di pasar keuangan, nilai tukar rupiah berpotensi menguat ke depan sesuai fundamentalnya. Diperkirakan Tony, nilai fundamental rupiah ada di kisaran Rp13.500 hingga Rp13.700 per dolar AS. cnnindonesia.com
loading...
Comments
Post a Comment